petualangan birahi kami

cerita panas Ini adalah kisah nyata. Tapi untuk menjaga nama baik semua pihak, nama-nama pelaku diganti semuanya. Selamat mengikuti:

cersek,dewasa,cerbung mesum

Peristiwa indah itu tak pernah kuduga sedikit pun. Karena Bu Ivy tidak menampakkan gejala-gejala nakal sedikit pun. Apalagi kalau mengingat bahwa dia sudah mengenal istriku dan sering ngobrol berdua kalau datang ke rumahku. Istriku pun kelihatan percaya penuh, tak pernah mencucurigai kalau aku bepergian bersama Bu Ivy.  Lagian kalau ada niat mau selingkuh, masa Bu Ivy berani menginjak rumahku  dan berlama-lama ngobrol dengan istriku?  Apalagi kalau mengingat bahwa Bu Ivy kelihatannya taat beribadah.  Tiap hari selalu mengenakan jilbab.
Baik aku maupun istriku sama-sama berwiraswasta, tapi dalam lapangan yang berbeda. Aku sering jadi mediator, begitu juga Bu Ivy. Sementara istriku membuka toko kebutuhan sehari-hari, jadi bisnisnya cukup dengan menunggui toko saja, karena rumahku ada di belakang toko itu. Dan di belakang rumah, istriku punya bisnis lain….beternak ribuan burung puyuh yang rajin bertelur tiap hari.
Pada suatu pagi,  waktu aku baru mau mandi, istriku menghampiriku, “Ada Bu Ivy, Bang.”
“Oh, iya….emang sudah janjian mau ketemu sama pemilik tanah yang mau dijadikan perumahan itu,” sahutku, “Suruh tunggu sebentar, aku mau mandi dulu.”
Istriku mengangguk lalu pergi ke depan. Sementara aku bergegas masuk ke kamar mandi.
Setelah mandi dan berdandan, aku melangkah ke ruang tamu. Bu Ivy sedang ngobrol dengan istriku.
“Barusan istri Herman datang, Bang,” kata istriku waktu aku baru duduk di sampingnya, “Herman sakit, kakinya bengkak, asam uratnya kambuh, jadi gak bisa kerja hari ini.”
“Penyakit langganan,” sahutku dengan senyum sinis. Dengan hati kesal, karena itu berarti aku harus nyetir sendiri hari ini. Herman adalah nama sopirku.
“Acaranya hari ini nggak jauh kan?” tanya istriku, “Sekali-sekali nyetir sendiri kan nggak apa-apa.”
“Iya…ada sopir atau nggak ada sopir, kegiatanku takkan terhambat,” kataku, lalu menoleh ke arah Bu Ivy yang saat itu mengenakan baju hijau pucuk daun dan kerudung putih, “Berangkat sekarang Bu?”
“Baik Pak,” Bu Ivy memegang tali tas kecilnya yang tersimpan di pangkuannya.
Tak lama kemudian Bu Ivy sudah duduk di sampingku, di dalam sedan yang kukemudikan sendiri (merek sedanku takkan kusebut, enak aja jadi iklan gratis…hehehe…).
Obrolan kami di perjalanan menuju lokasi, hanya menyangkut masalah-masalah bisnis yang ada kaitannya dengan Bu Ivy. Tidak ada sesuatu yang menyimpang. Bahkan setelah tiba di lokasi yang 25 km dari pusat kota, aku tak berpikir yang aneh-aneh. Bahkan aku jengkel juga ketika pemilik tanah itu tidak ada di tempat, harus dijemput dulu oleh keponakannya yang segera meluncur di atas motornya.
Kami duduk saja di dalam mobil yang diparkir menghadap ke kebun tak terawat, yang rencananya akan dijadikan perumahan oleh kenalanku yang seorang developer. Suasana sunyi sekali. Karena kami berada di depan kebun yang mirip hutan. Pepohonan yang tumbuh tidak dirawat sedikit pun.
Tapi suasana yang sunyi itu…entah kenapa…tiba-tiba saja membuatku iseng…memegang tangan Bu Ivy sambil berkata, “Bisa dua jam kita harus menunggu di sini, Bu.”
“Iya Pak,” sahutnya tanpa menepiskan genggamanku, “Sabar aja ya Pak….di dalam bisnis memang suka ada ujiannya.”
Aku terdiam. Tapi tanganku tidak diam. Aku mulai meremas tangan wanita 30 tahunan itu, yang makin lama terasa makin hangat. Dia bahkan membalasnya dengan remasan. Apakah ini berarti……..ah…..pikiranku mulai melayang-layang tak menentu. 
Mungkin di mana-mana juga lelaki itu sama seperti aku. Dikasih sejengkal mau sedepa. Remas-remasan tangan tidak berlangsung lama. Kami bukan abg lagi. Masa cukup dengan remas-remasan tangan?
Sesaat kemudian, lengan kiriku sudah melingkari lehernya. Tangan kananku mulai berusaha membuka jalan agar tangan kiriku bisa menyelusup ke dalam bajunya yang sangat tertutup dan bertangan panjang.  Bu Ivy diam saja. Dan akhirnya aku berhasil menyentuh payudaranya. Tapi dia menepiskan tanganku sambil berkata, “Duduknya di belakang saja Pak…di sini takut dilihat orang…”
O, senangnya hatiku. Karena ucapannya itu mengisyaratkan bahwa dia juga mau !
“Kenapa mendadak jadi begini Pak?” tanya wanita berjilbab itu ketika kami sudah duduk di jok belakang, pada saat tanganku berhasil menyelinap ke baju tangan panjangnya dan ke balik behanya.
“Gak tau kenapa ya?” sahutku sambil meremas payudaranya yang terasa masih kencang, mungkin karena rajin merawatnya.
“Tapi Pak…uuuuhhhh…..kalau saya jadi horny gimana nih?” wanita itu terpejam-pejam sambil meremas-remas lututku yang masih berpakaian lengkap.
“Kita lakukan saja…asal Bu Ivy gak keberatan….” tanganku makin berani, berhail menyelinap ke balik rok panjangnya, lalu menyelundup ke balik celana dalamnya. Tanganku sudah menyentuh bulu kemaluannya yang terasa lebat sekali. Kemudian menyeruak ke bibir kemaluannya…bahkan mulai menyelinap ke celah vaginanya yang terasa sudah membasah dan hangat.
“Masa di mobil?” protesnya, “kata orang mobil jangan dipakai gituan, bisa bikin sial…”
“Emang siapa yang mau ngajak begituan di mobil? Ini kan perkenalan aja dulu….” kataku pada waktu jemariku mulai menyelusup ke dalam liang kemaluan Bu Ivy yang terasa hangat dan berlendir…
Wanita itu memelukku erat-erat sambil berbisik, “Duh Pak…saya jadi kepengen nih….kita cari penginapan aja dulu yuk. Bilangin aja sama orang-orang di sini kalau kita mau datang lagi besok.”
“Iya sayang,” bisikku, “Sekarang ini memiliki dirimu lebih penting daripada ketemuan dengan pemilik tanah itu…”
“Ya sudah dulu dong,” Bu Ivy menarik tanganku yang sedang mempermainkan kemaluannya, “Nanti kalau saya gak bisa nahan di sini kan berabe. Nanti aja di penginapan saya kasih semuanya…”
Aku ketawa kecil. Lalu pindah duduk ke belakang setir lagi.
Tak lama kemudian mobilku sudah meluncur di jalan raya. Persetan dengan pemilik tanah itu. Sekarang ini yang terpenting adalah tubuh Bu Ivy, yang jelas sudah siap diapakan saja.

Dengan mudah kudapatkan hotel kecil di luar kota, sesuai dengan keinginan Bu Ivy, karena kalau di dalam kota takut kepergok oleh orang-orang yang kami kenal. Soalnya aku punya istri, Bu Ivy pun punya suami.
Hotel itu cuma hotel sederhana. Tapi lumayan, kamar mandinya pakai shower air panas. Tidak pakai AC, karena udaranya cukup dingin, rasanya tak perlu pakai AC di sini. Yang penting adalah wanita berjilbab itu…yang kini sedang berada di dalam kamar mandi, mungkin sedang cuci-cuci dulu...sementara aku sudah tak sabaran menunggunya.
Ketika ia muncul di ambang pintu kamar mandi, aku terpana dibuatnya. Rambutnya yang tak ditutupi apa-apa lagi, tampak tergerai lepas….panjang lebat dan ikal. Jujur…ia tampak jauh lebih seksi, apalagi kalau mengingat bahwa ia 5 tahun lebih muda adaripada istriku. Rok bawahnya tidak dikenakan lagi, sehingga pahanya yang putih mulus itu tampak jelas di mataku.
Aku bangkit menyambutnya dengan pelukan hangat, “Bu Ivy kalau gak pake jilbab malah tampak lebih cantik….muuuahhhhh…” kataku diakhiri dengan kecupan hangat di pipinya.
Ia memegang pergelangan tanganku sambil tersenyum manis. Dan kuraih pinggangnya, sampai berada di atas tempat tidur yang lumayan besar.
Lalu kami bergumul mesra di atas tempat tidur itu. Bu Ivy tidak pasif. Berkali-kali dia memagut bibirku. Aku pun dengan tak sabar menyingkapkan baju lengan panjangnya. Dan…ah…rupanya tak ada apa-apa lagi di balik baju lengan panjang itu selain tubuh Bu Ivy yang begitu mulus. Payudaranya tidak sebesar payudara istriku. Tapi tampak  indah di mataku. Tak ubahnya payudara seorang gadis belasan tahun. Dan ketika pandanganku melayang ke bawah perutnya…tampak sebentuk kemaluan wanita yang berambut tebal, sangat lebat….
Aku pun mulai beraksi. Mencelucupi lehernya yang hangat, sementara tanganku mulai mengelus jembut (bulu kemaluan) yang lebat keriting itu. Bu Ivy pun tidak tinggal diam, mulai melepaskan kancing kemejaku satu persatu, lalu menanggalkan kemejaku. Untuk mempermudah, aku pun menanggalkan celana panjang dan celana dalamku. Sehingga batang kemaluanku yang sudah tegak kencang ini tak tertutup apa-apa lagi.
Bu Ivy melotot waktu melihat batang kemaluanku yang sudah tak tertutup apa-apa lagi ini. “Iiiih…punya Bapak kok panjang gede gitu….mmm….si ibu pasti selalu puas ya …” desisnya.
“Emang punya suami Bu Ivy seperti apa?” tanyaku.
“Jauh lebih pendek dan kecil,” bisik Bu Ivy sambil merangkulku  dengan ketat, seperti gemas.
Kembali kuciumi lehernya yang mulai keringatan, lalu turun…mencelucupi puting  payudaranya. Kusedot-sedot seperti anak kecil sedang menetek, sambil mengelus-eluskan ujung lidahku di putting payudara yang terasa makin mengeras ini. Sementara tanganku tak hanya diam. Jemariku mulai mengelus bibir kemaluan wanita itu, bahkan mulai memasukkan jari tengahku ke dalam liang kemaluannya.
Bu Ivy sendiri tak cuma berdiam diri. Tangannya mulai menggenggam batang kemaluanku. Meremasnya dengan lembut. Mengelus-elus puncak penisku, sehingga aku makin bernapsu. Tapi aku sengaja ingin melakukan pemanasan selama mungkin, supaya meninggalkan kesan yang indah di kemudian hari.
Maka setelah puas menyelomoti puting payudara wanita itu, bibirku turun ke arah perutnya. Menjilati pusarnya sesaat. Lalu turun ke bawah perutnya.
“Pa jangan ke situ ah…malu…” Bu Ivy berusaha menarik kepalaku agar naik lagi ke atas. Tapi aku bahkan mulai menciumi kemaluanya yang berbulu lebat itu.  Lalu jemariku menyibakkan bulu kemaluan wanita itu, mengangakan bibirnya dan mulai menjilatinya dengan gerakan dari bawah ke atas….
“Aduh Pak…ini diapain? Aaah…kok enak sekali Pak…..” Bu Ivy mulai menceracau tak menentu. Lebih-lebih ketika aku mulai mengarahkan jilatanku di clitorisnya, terkadang menghisap-hisapnya sambil menggerak-gerakkan ujung lidahku.
“Oooh Pak…oooh….Pak….iiiih….saya udah mau keluar nih….duuuhhhhhh” celotehnya membuatku buru-buru mengarahkan batang kemaluanku ke belahan memeknya yang sudah basah. Dan kudesakkan sekaligus….blessss…..agak mudah membenam ke dalam liang surgawi yang sudah banyak lendirnya itu.
“Aduuuduuuhhhh…sudah masuk  Paaakk…..oooohhhh….” Bu Ivy menyambutku dengan pelukan erat, bahkan sambil menciumi bibirku sambil menggerak-gerakkan pantatnya, “Sa…saya gak bisa nahan lagi…langsung mau keluar Paaak…tadi sih terlalu dienakin…oooh…”
Lalu terasa tubuh wanita itu mengejang dan mengelojot seperti sekarat.  Rupanya dia tak bisa menahan lagi. Dia sudah orgasme….terasa liang kemaluannya berkedut-kedut, lalu jadi becek.
“Barusan kan baru orgasme pertama,”bisikku yang mulai gencar mengayun batang kemaluanku, maju mundur di dalam celah kemaluan Bu Ivy.
Beberapa saat kemudian  wanita itu merem melek lagi, bahkan makin gencar menggoyang-goyang pinggulnya, sehingga batang kemaluanku serasa dibesot-besot oleh liang surgawi Bu Ivy. Aku tahu goyangan pantatnya itu bukan sekadar ingin memberikan kepuasan untukku, tapi juga mencari kepuasan untuknya sendiri. Karena pergesekan penisku dengan liang kemaluannya jadi makin keras, kelentitnya pun berkali-kali terkena gesekan penisku.
“Adduuuh, duuuh….Pak…kok  enak sekali sih Pak…..aaah…saya bisa ketagihan nanti Pak…..” celotehnya dengan napas tersengal-sengal.
“Aku juga bisa ketagihan,” sahutku setengah berbisik di telinganya, sambil merasakan enaknya gesekan dinding liang kemaluannya, “memekmu enak sekali, sayang…..duuuuh….benar-benar enak sekaliii….”
Aku memang tidak berlebihan. Entah kenapa, rasanya persetubuhanku kali ini terasa fantastis sekali. Mungkin ini yang disebut SII (Selingkuh Itu Indah).  Padahal posisi kami cuma posisi klasik. Goyangan pantat Bu Ivy juga konvensional saja. Tapi enaknya luar biasa. Dalam tempo singkat saja keringatku mulai bercucuran.
Bu Ivy pun tampak sangat menikmati enjotan batang kemaluanku. Sepasang kakinya diangkat dan ditekuk, lalu melingkari pinggangku, sementara rengekan-rengekannya tiada henti terlontar dari mulutnya, “Ooooh….oooh…hhhh….aaaaahhhhh…oooh…aaaaah….aduuuh Paaak….enak Pak….duuuuh….mmmmhhhhh saya mau keluar lagi nih Paaak….”
“Kita barengin keluarnya yok….” bisikku sambil mempergencar enjotan batang kemaluanku, maju mundur di dalam liang kewanitaan Bu Ivy.
“I…iya Pak….bi…bi…biar nikmat…..” sahutnya sambil mempergencar pula ayunan pinggulnya, meliuk-liuk  cepat  dan membuat batang kemaluanku seperti dipelintir oleh dinding liang kemaluan wanita yang licin dan hangat itu.
Sampai pada suatu saat…kuremas-remas buah dada wanita itu, mataku terpejam, napasku tertahan…batang kemaluanku membenam sedalam-dalamnya….lalu kami seperti orang-orang kesurupan….sama-sama berkelojotan di puncak kenikmatan yang tiada taranya …..
Air maniku terasa menyemprot-nyemprot di dalam liang memek Bu Ivy. Liang yang terasa berkedut-kedut….lalu kami sama-sama terkapar, dengan keringat bercucuran.
“Ini yang pertama kalinya saya digauli oleh lelaki yang bukan suami saya…” kata Bu Ivy sambil membiarkan batang kemaluanku tetap menancap di dalam memeknya.
Kujawab dengan ciuman hangat di bibirnya yang sensual, “Sama…saya juga baru sekali ini merasakan bersetubuh dengan wanita yang bukan istri saya. Terimakasih sayang….mulai saat ini Bu Ivy jadi istri rahasiaku…”
“Dan Bapak jadi suami kedua saya….iiih…kenapa tadi kok enak sekali ya Pak?”
“Mungkin kalau dengan pasangan kita sendiri sudah terlalu biasa, nggak ada yang aneh lagi. Tapi barusan dilepas di dalam…nggak apa-apa ?”
“Nggak apa-apa,” sahutnya dengan senyum manis, mata bundar beningnya pun bergoyang-goyang manja, “Saya kan ikut KB sejak kelahiran anak kedua…”
“Asyik dong, jadi aman….”
“Saya pasti ketagihan Pak….soalnya punya Bapak panjang gede gitu…..”
Kata-kata Bu Ivy itu membuat napsuku bangkit lagi. Dan batang kemaluanku yang masih terbenam di dalam memeknya, terasa mengeras lagi. Maka kucoba menggerak-gerakkannya…ternyata memang bisa dipakai “bertempur” lagi.
Batang kemaluanku sudah mondar mandir lagi di dalam liang vagina Bu Ivy yang masih banyak lendirnya tapi tidak terlalu becek, bahkan lebih mengasyikkan karena aku bisa mengenjot dengan gerakan yang sangat leluasa tanpa kehilangan nikmatnya sedikit pun.  Bahkan ketika aku menggulingkan diri ke bawah, dengan aktifnya Bu Ivy action dari atas tubuhku. Setengah duduk ia menaik turunkan pinggulnya, sehingga aku cukup berdiam diri, hanya sesekali menggerakkan batang kemaluanku ke atas, supaya bisa masuk sedalam-dalamnya.
Posisi di bawah ini membuatku leluasa meremas-remas payudara Bu Ivy yang bergelantungan di atas wajahku. Terkadang kuremas-remas juga pantatnya yang lumayan besar dan padat.
Tapi mungkin posisi ini terlalu enak buat Bu Ivy, karena moncong penisku menyundul-nyundul dasar liang vaginanya. Dan itu membuatnya cepat orgasme. Hanya beberapa menit ia bisa bertahan dengan posisi ini. Tak lama kemudian ia memeluk leherku kuat-kuat, seperti hendak meremukkannya. Lalu terdengar erangan nikmatnya, “Aaaahhhh….saya keluar lagi Paaaak…..”
Kemudian ia ambruk di dalam dekapanku.
Tapi aku seolah tak peduli bahwa Bu Ivy sudah orgasme lagi. Butuh beberapa saat untuk memulihkan vitalitasnya kembali. Tak perlu vitalitas. Yang jelas batang kemaluanku sedang enak-enaknya mengenjot memek teman bisnisku ini. Lalu aku menggulingkan badannya sambil kupeluk erat-erat, tanpa mencabut batang kemaluanku dari dalam memeknya yang sudah orgasme kesekian kalinya.
Bu Ivy memejamkan matanya waktu aku mulai mengenjotnya lagi dengan posisi klasik, dia di bawah aku di atas. Tapi beberapa saat kemudian ia mulai aktif lagi. Mendekapku erat-erat sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan gerakan meliuk-liuk …..
Aku pun makin ganas mengenjotnya. Tapi ia tak mau kalah ganas. Gerakan pantatnya makin lama makin dominan. Membuatku berdengus-dengus dalam kenikmatan yang luar biasa.
“Oooh…enak banget Paaak….sa…saya mau keluar lagi ….kita barengin lagi Pak…ta…tadi juga enak sekali….” celotehnya setelah batang kemaluanku cukup lama mengenjot liang memeknya.
Aku setuju. Kuenjot batang kemaluanku dengan kecepatan tinggi, maju-mundur, maju-mundur….sampai akhirnya kami sama-sama berkelojotan lagi Saling cengkram, saling lumat….seolah ingin saling meremukkan….dan akhirnya air maniku menyemprot-nyemprot lagi di puncak kenikmatanku, diikuti dengan rintihan lirih Bu Ivy yang sedang mencapai orgasme pula.

“Kita kok bisa tiba-tiba begini ya?” cetus bu Ivy waktu sudah mengenakan pakaiannya lagi.
“Iya…dari rumah aja gak ada renana….tapi tadi mendadak ada keinginan…untunglah Bu Ivvy gak menolak…terimakasih ya sayang,” sahutku dengan genggaman erat di pergelangan tangannya, kemudian kukecup mesra bibirnya yang tipis mungil itu.
Wanita itu tersenyum. Memeluk pinggangku sambil berkata perlahan, “Kita harus berterimakasih pada pemilik tanah itu, ya Pak. Gara-gara dia gak ada di tempat, kita jadi ada acara mendadak begini.”
Aku mengangguk dengan senyum. Sementara hatiku berkata, “Gara-gara sopirku gak masuk pula, aku jadi punya kisah seperti ini. Kalau ada dia, aku tentu takkan sebebas ini.”

Sore itu kami pulang ke rumah masing-masing, dengan perasaan baru. Bahkan malamnya, ketika istriku  sudah tertidur pulas, aku masih sempat smsan dengan bu Ivy.  Salah satu smsnya berbunyi: “Puas banget…punya saya sampe terasa seperti jebol….punya bapak kegedean sih…kapan kita ketemuan lagi?”
Kujawab singkat,  “Kapan pun aku siap..”
Satu kisah indah telah tercatat di dalam kehidupanku. Yang tak mungkin kulupakan.


Petualanganku dengan wanita berjilbab bernama Ivy itu seperti membuka mataku selebar-lebarnya. Dalam pertemuan dengan bu Ivy yang kedua kalinya, aku mendengar curhatnya. Bahwa suaminya selingkuh dengan teman sekantornya. “Mending kalau ceweknya itu cantik...sama pembantu saya aja masih bagusan pembantu saya,” kata Bu Ivy dalam curhatnya. Banyak curhat Bu Ivy yang dituturkan padaku. Kesimpulannya, ia tak menyesali skandalnya denganku, hitung-hitung balas dendam pada perselingkuhan suaminya.
Lalu aku balas dendam kepada siapa? Bukankah istriku demikian setianya padaku? Yahhh, mungkin aku hanya menjalani naluri sebagai lelaki saja. Bahwa pada dasarnya kodrat pria itu tidak cukup dengan satu wanita saja. Hanya memang ada yang disalurkan, ada pula yang dipendam atau ditindas oleh yang bersangkutan.
Dalam perjalanan bisnisku berikutnya, aku menemukan suatu celah baru. Untuk menghubungkan owner sebuah kapal tanker kecil dan calon buyernya, aku dan team harus menginap di sebuah hotel di Jakarta. Karena kami datang sudah terlalu sore, sementara kapal itu harus disurvey siang hari. Jumlah team tidak banyak, hanya dua orang wanita muda dan dua orang pria (termasuk aku). Aku dan Agus mengambil kamar bernomor 809, sementara kedua wanita yang datang dari Semarang itu memakai kamar bernomor 810 yang bersebrangan dengan kamar kami.
Sebenarnya aku sudah tiga kali bertemu dengan Mbak Ida, nama salah seorang wanita yang istirahat di kamar 810 itu. Tentu dalam urusan bisnis yang kami tekuni. Tapi baru sekali ini aku memikirkan hal khusus tentang wanita yang satu itu. Bahwa dia cantik, kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi semampai dan usianya pun pasti di bawah 30 tahun. Aku memanggilnya dengan sebutan “Mbak” hanya karena menghormatinya saja. Padahal usianya pasti beberapa tahun lebih muda dariku.
Aku belum mendengar latar belakang kehidupannya secara jelas. Hanya menurut selentingan, suaminya sudah tua banget dan mengalami kelumpuhan, sehingga Mbak Ida harus giat mencari celah-celah bisnis seperti yang sedang kami tekuni sekarang.
Tapi aku tak peduli dengan latar belakang kehidupan wanita bernama Ida Farida itu. Yang kupikirkan, bagaimana cara untuk mendapatkannya di hotel ini? Susahnya, aku tidak sendirian. Mbak Ida juga tidak sendirian.
Sampai jam sembilan malam aku memutar otak. Temanku yang bernama Agus itu sudah tidur tengkurap di bednya. Akhirnya aku nekad mengetik sms untuk wanita itu, “Bisa ke resto sebentar? Ada yang ingin saya rundingkan, tapi temannya jangan diajak. Thanks.”
Kukirimkan sms itu ke nomor hp Mbak Ida. Tak lama kemudian kuterima balasannya, singkat saja : “Oke”
Dengan penuh semangat aku keluar dari kamar 809, menuju lift dan turun ke lantai satu, karena resto hotel itu berada di lantai satu. Sengaja aku tak menunggu dulu wanita itu muncul di ambang pintu kamarnya, supaya “gerakan” ini rapi. Tidak terlihat oleh Agus maupun Mbak Tina (teman sekamar Mbak Ida).
Agak lama aku menunggu di resto hotel, wanita itu belum muncul juga. Mungkin merapikan diri dulu di kamarnya. Aku pun baru minta juice melon, belum memesan makanan.
Setelah agak lama menunggu, wanita itu muncul dalam gaun Gaun berwarna hijau mengkilap, dengan belahan di bagian depannya, sehingga setiap melangkah tampaklah betisnya yang putih bersih itu. Gila...anggun sekali tampaknya wanita yang biasa kupanggil Mbak Ida itu. Kenapa baru sekarang kuperhatikan?
Ia menghampiriku dengan senyum manis di bibir sensualnya. “Maaf lama nunggu ya... barusan terima telepon dulu,” katanya setelah duduk di kursi sebelah kursiku.
“Mau makan apa?” tanyaku sambil menyodorkan daftar menu padanya.
“Masih kenyang, tadi kan belum lama makan malam,” sahutnya.
“Saya juga gak lapar-lapar benar. Tapi kepengen makan bareng Mbak Ida. Ayo dong tentukan dulu pilihannya,” kusodorkan lagi daftar menu yang ia letakkan kembali di meja.
“Mmm...spaghetti fisherman aja deh...biar jangan terlalu kenyang.”
“Oke, aku juga mau kompak sama panjenengan. Spaghetti juga...tapi spaghetti bolognese aja. Minumnya apa?”
“Juice strawberry juga boleh.”
“Oke,” aku mengangguk sambil memanggil pelayan. Lalu kusampaikan pesananku padanya.
“Apa yang mau dirundingkan itu Mas?” tanya wanita bernama Ida itu setelah pelayan resto berlalu.
“Nggak ada...cuma pengen ditemani wanita cantik aja....hehehe...” kataku sambil menepuk punggung tangan Ida yang terletak di pinggiran meja makan.
“Iiih...panjenengan ada-ada aja....kirain benar-benar ada yang mau dirundingkan,” cetusnya dengan senyum manis. Oh, senyum itu...gemas aku melihatnya. Kenapa dulu-dulu aku tak pernah memperhatikan semuanya ini? Apakah karena dulu-dulu aku terlalu serius ke masalah bisnis, sehingga aku tak peduli kecantikan rekanku dari Semarang ini?
“Sebenarnya ada yang sangat penting...tapi kusampaikan lewat sms aja ya. Rahasia sih,” kataku sambil mengeluarkan handphoneku. Lalu kuketik kalimat, “Sudah lama aku ingin menyampaikan hal ini. Tapi baru sekarang akan kusampaikan. Bahwa Mbak Ida menarik sekali di mataku.”
Lalu kukirimkan sms itu. Lucu juga, aku mengirim sms kepada orang yang sedang duduk di sebelahku.
Dengan sorot heran wanita cantik itu membaca sms yang barusan kukirimkan.
“Gombal....” cetusnya sambil tersipu-sipu.
“Harusnya sejak ketemu dengan Mbak, saya harus menyampaikan hal itu. Tapi baru sekarang saya bisa menyampaikannya.”
Wanita itu menatapku sesaat. Lalu tertunduk sambil berkata perlahan, “Saya kan sudah punya suami Mas.”
“Saya juga sudah punya istri,” sahutku, “Biar saja. Emangnya saya gak boleh mengagumi panjenengan?”
Kuperhatikan reaksinya. Ia mengerling dengan gaya manja. Lalu katanya, “Kita urus bisnis dulu Mas.”
“Terus kalau bisnis kita sukses, gimana?” tanyaku sambil memegang pergelangan tangan wanita itu.
“Terserah panjenengan....” sahutnya perlahan.
“Kalau gak sukses gimana? Kan buyer yang menentukan besok.”
“Pokoknya kita urus dulu bisnisnya. Soal sukses nggaknya ya tergantung nasib kita aja.”
Makanan yang kami pesan sudah datang. Dua orang pelayan menata semuanya di meja makan.
“Tapi minimal sudah ada secercah harapan...terima kasih Mbak...hati saya bahagia sekali malam ini,” kataku sebelum muai menyantap spaghettiku.
Lagi-lagi kulihat kerlingan manja itu. Ah...aku seakan kembali ke masa remajaku.
Tadinya aku sepakat bahwa aku akan memikirkan bisnis dulu, yang akan ditentukan besok siang. Tapi ketika aku dan wanita itu berada di dalam lift untuk naik ke lantai delapan, suasana jadi terasa lain, karena hanya kami berdua yang berada di dalam lift itu.
Kertika kupeluk pinggang wanita itu, lalu tampak senyum manis dan tatapan matanya yang bergoyang indah, aku tak kuat bertahan lagi. Kucium bibir wanita itu dengan mesra...kehangatan terasa menjalar ke sekujur tubuhku.
Dan aku merasakan sambutan yang hangat pula. Lumatannya benar-benar membangkitkan. Sehingga ketika lift itu sudah tiba di lantai delapan, kupijat lagi nomor untuk lantai satu.
“Kenapa turun lagi?” tanya Mbak Ida sambil menatapku dengan sorot heran.
“Kita booking kamar lain, supaya teman kita pada nenyak tidurnya,” sahutku sambil mengecup pipi Mbak Ida.
“Emang mau ngapain booking kamar lagi?” tanyanya tidak bernada protes, malah menyandarkan kepalanya di dadaku.
“Pengen pacaran...mumpung masih bersama-sama...”
“Ih, bukannya urus bisnis dulu...”
“Dua-duanya kita urus kan nggak apa-apa. Bisnis kita urus besok. Malam ini kita urus perasaan kita dulu. Deal?” kataku sambil menggelitik pinggangnya. Sebagai jawaban, kuterima cubitan kecil di lenganku.

Tak sulit mendapatkan kamar baru yang kupesan di receptionist. Aku minta kamar di lantai satu saja. Ternyata masih ada kamar yang kosong.
“Nanti kalau teman-teman nyari kita gimana?” tanya Mbak Ida pada waktu bellboy membuka pintu kamar.
“Bilang aja nyari makanan dan atau nemani saya minum bir,” sahutku sambil memberi uang tip buat bellboy yang mengantarkanku ke kamar baru itu, “Atau bilang aja kita jalan-jalan ke rumah saudara...atau ke Ancol...ah...banyaklah alasannya nanti...hehehe...”
“Padahal kita di hotel ini-ini juga...” kata Mbak Ida pada waktu aku menutupkan pintu kamar, lalu sekaligus menguncikannya.
Mbak Ida duluan duduk di sofa, sambil menatapku yang tengah menghampirinya. “Mau ngapain sih bawa saya ke sini?” tanyanya sambil tersenyum.
“Pengen ciumin panjenengan tanpa diburu-buru,” sahutku sambil duduk di sampingnya, lalu mengangkat pinggangnya agar duduk di pangkuanku.
“Tadi di lift kan sudah nyiumin saya.”
“Baru nyium bibir doang,” kataku sambil melingkarkan lengan di pinggangnya.
“Emang mau nyium apa lagi?” ia menatapku dengan senyum yang makin menggoda.
Kujawab dengan gigitan lembut di daun telinganya, disusul dengan bisikan, “Pengen nyiumin semuanya, dari ujung kaki sampai ujung rambut, gak ada yang terlewat....”
“Iiih...kata-katanya merangsang...” cetus wanita itu sambil mencium pipiku. Hangat sekali rasanya ciuman wanita cantik ini.
Pandanganku tertumbuk ke belahan gaun hijau mengkilap itu. Menampakkan sebagian lutut dan paha putih mulusnya. Maka tanganku pun merayap ke situ...ke lututnya sambil berkata, “Bagian ini misalnya, kan belum diciumin....lalu ini juga belum...” tanganku sudah berada di pahanya. Kehangatan makin terasa menjalar ke telapak tanganku.
“Terus mau nyiumin yang mana lagi?” bisiknya diiringi pelukan erat di leherku.
“Semuanya,” sahutku, ”...termasuk yang sekarang masih ditutupi bra dan CD....”
“Mmmm...Mas pandai bikin perempuan jadi horny ih....” kata Mbak Ida sambil memejamkan matanya. Ini seolah signal buatku. Seolah indikator, bahwa ia siap diapakan pun olehku. Maka tanganku yang sudah sampai di pangkal pahanya mulai menyelinap perlahan-lahan ke balik celana dalamnya (yang belum kulihat berwarna apa).
Tanganku mulai menyentuh rambut tebal di antara kedua pangkal paha wanita itu. Lalu tanganku menjelajah terus...mengelus daging yang lunak dan agak membasah. Terasa makin erat pelukan Mbak Ida di leherku. Kulirik wajahnya, masih terpejam. Mungkin malu, mungkin sedang menghayati sentuhanku, entahlah. Yang jelas aku rasakan suhu badan wanita itu makin menghangat. Sementara sikapnya cuma diam pasrah. hanya elahan napasnya yang terdengar seperti tertahan-tahan.
Begitu pula ketika aku mengangkat tubuh pasrahnya dan merebahkannya di atas tempat tidur, Mbak Ida cuma menatapku dengan sorot semakin pasrah. Bahkan seperti yakin pada apa yang akan kulakukan selanjutnya, ia duduk sebentar sambil menanggalkan gaunnya, kemudian menelentang kembali, dalam keadaan tinggal bercelana dalam dan berbeha saja.
Dan aku sempat terlongong sejenak, mengagumi kemulusan tubuh wanita itu. Lalu dengan penuh semangat aku melompat ke atas tempat tidur. Menggumuli tubuh hangat itu dengan gairah yang semakin menggelegak.
“Mas....” hanya itu yang terlontar dari mulut Mbak Ida ketika aku menanggalkan behanya.
“Bukan main indahnya,” kataku sambil mengelus puting payudaranya yang sebelah kiri (karena konon mayoritas wanita lebih peka payudara kirinya daripada yang kanan), “Mbak belum punya anak?”
“Sudah,” sahutnya dengan senyum, “Sudah dua orang...emang kenapa?”
“Payudara Mbak tampak seperti belum pernah menyusui bayi.”
“Emang payudara istrinya seperti apa?”
“Pokoknya tidak sepadat ini,” kataku sambil meremas payudara mulus dan masih kencang ini. Mulutku juga tak mau diam, terkadang menjilati puting payudara yang kecoklatan itu, terkadang menghisapnya seperti bayi sedang menetek.
“Mas...saya jadi horny nich....” desah Mbak Ida sambil menatapku dengan sorot mata berharap, “Saya paling gak tahan kalau tetek saya diemut-emut gini...”
Aku menjawabnya dengan tindakan. Mulutku melorot ke bawah, mencelucupi pusar perut wanita itu, sehingga ia terkejang-kejang, mungkin karena menahan geli. Namun kedua tanganku sudah menurunkan karet celana dalam Mbak Ida yang tipis agak transparant dan berwarna mirip kulitnya yang kuning langsat.
Semua kulakukan dengan perlahan namun pasti. Sehingga mulai tampak bagian di bawah perut wanita ini...mula-mula rambut-rambut keriting yang lebat mulai tampak....lalu belahan kemerahan itu pun tampoak jelas di mataku...wow...bukan main indahnya bentuk vagina wanita yang satu ini. Dan semuanya semakin jelas ketika celana dalamnya sudah kulepaskan dari kakinya, wajahku pun makin mendekatinya, sementara kedua tanganku mulai menguakkan celah vagina itu, sehingga bagian yang berwarna pink pun seolah mengucapkan selamat datang kepada gairahku.
Gairah inilah yang membuatku lupa daratan, sehingga dengan ganas mulai kuciumi vagina yang kemerahan di antara rimbunnya hutan jembut menghitam ini. Lalu dengan lincah lidahku mulai menyelusuri labia mayora dan bagian yang berwarna pink itu....puncaknya berupa jilatan rakus di clitorisnya, terkadang disertai sedotan-sedotan agak kencang...sehingga Mbak Ida mulai merintih-rintih histeris....”Maaas....oooh...maaaasssssssss....aaaaahhhhh...maaaassssss ...oughhhhhh....maaaaas........”
Tubuh seksi itu pun mulai menggeliang-geliut, seperti belut dilemparkan ke darat. Terkadang bahu dan rambutku diremasnya. Dan kepalaku yang berada di bawah perut Mbak Ida jadi kerasan untuk tetap di tempat erotis itu...sementara tanganku mulai rajin meremas-remas buah pinggul yang lumayan besar ini.
Mungkin inilah cunnilingus yang paling mengesankan selama ini. Karena Mbak Ida pun reaktif, dengan menggerak-gerakkan pinggulnya, sehingga vaginanya ikut  bergerak-gerak...maka lidahku pun semakin kencang menggesek-gesek clitorisnya....!
Apakah permainanku terlalu efektif atau Mbak Ida pas sedang mood, entahlah. Yang jelas belasan menit kemudian terdengar suara Mbak Ida bernada memohon, seperti meratap dalam hasrat kewanitaannya, “Masukin aja Mas....saya hampir orga Mas....”
Tanpa basa-basi lagi kulepaskan celana panjang dan celana dalamku. Lalu kupegang penisku yang sudah tegang sejak berada di dalam kamar ini. Kuletakkan ujung penisku di celah vagina Mbak Ida. Sementara wanita cantik itu pun membantu memegang penisku, supaya mengarah dengan tepat ke mulut vaginanya.
“Massss...!” terdengar Mbak Ida memekik tertahan, “Punyanya kok panjang gede gini sih? Iiih...Mas ada turunan Arab kali ya?”
Aku cuma menyeringai, karena sedang mendorong penisku ke depan...ke mulut vagina yang sudah basah oleh lendir kewanitaan bercampur dengan air liurku.
“Oooh...Mas....sudah masuk....oooh gede sekali...jangan disekaliin Mas ya....sedikit demi sedikit aja.....”
Kuikuti keinginan wanita itu. Setelah masuk sedikit, kugeser-geserkan penisku maju mundur, sambil berusaha makin dalam membenamkannya. Akhirnya aku merasa sudah berhasil membenamkan penisku sampai mentok di ujung liang kewanitaan Mbak Ida.
Aku pun mulai menyetubuhi Mbak Ida secara telak. Sambil mendekap lehernya yang hangat, kuayun penisku dengan gerakan maju mundur seperti pompa. Rintihan-rintihan histeris pun mulai terdengar di telingaku.
“Duuuh...Mass....ouuughhhh...Massss...ooohhhh...kok enak banget Massss.... ooohhhhh.... jangan cepat-cepat dikeluarin ya Mas....ooooh....saya ingin menikmatinya...saya sudah terlalu lama tidak merasakannya Mas......”
Rintihan-rintihan setengah bisikan itu membuatku makin garang mengayun batang kemaluanku. Ditingkah dengan goyangan pinggul Mbak Ida yang meliuk-liuk erotis, sehingga penisku seperti dibesot-besot, dipilin-pilin oleh liang kewanitaan Mbak Ida...liang yang lebih pas kalau kusebut liang surgawi.
Bibirku pun berkali-kali dipagut dan dilumat oleh bibir Mbak Ida. Aku menyambutnya dengan French Kiss. Kusedot-sedot lidah Mbak Ida, sehingga tanpa terasa ludah kami sudah berpindah-pindah tempat. Dalam keadaan seperti ini tiada lagi rasa jijik maupun ragu. Bahkan terkadang kujilati ketiak Mbak Ida yang harum, mungkin sudah disemprot parfum di kamarnya tadi. Terkadang aku pun menjilati lehernya yang mulai keringatan, bercampur dengan keringatku sendiri. Oh, indah dan nikmatnya semua yang tengah kualami ini. Sehingga andaikan ada bom meletus pun aku takkan peduli lagi.
Namun beberapa saat kemudian Mbak Ida berbisik terengah, “Saya sudah mau keluar Mas...oooh...Mas...peluk saya erat-erat Mas....ini saa...saya ke...keluarrrrrrrrrrrrr....”
Mbak Ida menggelepar. Liang kemaluannya terasa berdenyut-denyut di puncak orgasmenya. Nikmat sekali rasanya. Kubiarkan Mbak Ida menikmati masa orgasmenya. Bahkan dengan hangat kucium bibirnya, yang dibalas dengan lumatan mesra.
Lalu kudengar bisikannya, “Belum pernah saya rasakan yang sepuas ini Mas....”
Aku cuma tersenyum mendengarnya. Lalu kulanjutkan gerakan penisku, kembali memompa liang vagina Mbak Ida yang sudah becek namun tidak mengurangi kenikmatanku. Bahkan aku bisa mengenjotnya dengan gerakan cepat, lancar-lancar saja, tanpa takut menyakitinya.
Namun meski sedang nikmat-nkmatnya menggasak liang vagina Mbak Ida, aku masih sempat membisikinya, “Lepasin di dalam gakpapa?”
“Iya...” sahutnya lirih, “Saya ingin merasakan enaknya disembur sama Mas di dalam vegy saya....”
Apakah Mbak Ida sudah dekat menstruasi atau memang sudah ikut KB, entahlah. Yang jelas, biasanya wanita dalam hubungan gelap seperti ini takut sekali jika pasangan seksnya ejakulasi di dalam, karena takut hamil. Tapi Mbak Ida seperti tidak mencemaskan hal itu. Maka tenang saja aku mengayun penisku tanpa harus waspada dan cepat-cepat mencabutnya kalau sudah memprediksi akan ejakulasi.
Lucunya, dalam keadaan senikmat itu, aku masih sempat memikirkan bisnis. Sempat bertanya-tanya di dalam hati, “Apakah besok bisnisku akan sukses atau tidak?”
Pikiran seperti itu justru memecahkan konsentrasiku pada kehangatan dan kenikmatan yang sedang kureguk dari tubuh mulus Mbak Id. Akibatnya, lebih dari sejam aku menyetubuhi Mbak Ida, tanpa merasa akan ejakulasi. Padahal keringatku sudah bercucuran, bergalau dengan keringat wanita itu.
Dan setahuku Mbak Ida sudah tiga kali orgasme. Tapi aku tetap asyik memompakan penisku di  dalam liang surgawi Mbak Ida. Bibir dan liddahku jugatiada hentinya mencelucup dan menjilat-jilat di setiap bagian tubuh Mbak Ida yang terjangkau oleh mulutku. Sementara kedua tanganku tak mau diam juga. Meremas-remas di sana sini. Hal ini membuat Mbak Ida makin merem melek, mungkin sangat menikmati aksi seksualku.
Sampai pada suatu saat, ketika aku merasa akan ejakulasi, kubisiki telinga wanita cantik itu, “Saya sudah mau keluar Mbak...sambut ya Mbak....”
“Iya Mas....” sahut Mbak Ida sambil meliuk-liukkan pinggulnya dengan gerakan yang sangat erotis. Aku sendiri mengayun batang kemaluanku dengan gerakan yang makin cepat...makin cepat....lalu kutancap....kubenamkan sekuat mungkin.....napasku tertahan...dan...oooh....air maniku berhamburan dari penisku, membanjiri liang vagina Mbak Ida. begitu banyaknya, sampai terasa meleleh ke luar...menetes ke seprai putih bersih itu.
Mbak Ida memagut bibirku mesra. Lalu terdengar bisikannya, “Mas perkasa banget....baru sekali ini saya merasakan yang begini memuaskan...gak nyangka malam ini saya akan mendapatkannya dari Mas...”
“Sama sayang.” sahutku, “Saya juga merasa puas banget...duuuh...keringat kita sampai banjir begini ya?”
Kucabut penisku dari jepitan liang kewanitaan Mbak Ida. Benar-benar tampak air maniku meleleh dari vagina Mbak Ida.
“Kita kembali ke kamar masing-masing ya Mas,” kata Mbak Ida sambil turun dari tempat tidur, “Takut teman-teman kita nyariin...takut timbul gosip pula sepulangnya saya ke Semarang nanti...”
“Padahal saya masih ingin melanjutkan ke ronde kedua,” sahutku sambil memeluk pinggang Mbak Ida yang masih telanjang bulat.
Mbak Ida mengecup bibirku, lalu berkata, “Besok kan masih ada waktu Mas. Kalau bisnis kita sukses, biarin aja teman kita pada pulang. Kita lakukan lagi apa pun yang Mas mau. Saya sudah telanjur dimiliki sama Mas...”
Aku tersenyum bahagia. Memang bahagia hatiku karena bisa mendapatkan kehangatan dari tubuh wanita secantik Mbak Ida.
Sudah lewat tengah malam ketika kami kembali ke kamar masing-masing. Dengan kenangan indah akan apa yang baru saja kami nikmati di kamar lantai satu itu.
Setelah wanita berjilbab bernama Ivy itu, aku mendapatkan kenikmatan dari wanita cantik bernama Ida Farida itu. Siapa lagi wanita yang akan singgah dalam petualanganku?
Aku tersenyum sendiri. Lalu tertidur dengan nyenyaknya. Dengan batin puas. Sangat puas.
Tapi…kisah ini bukan kisah terakhir. Entahlah aku ditakdirkan seperti ini. Bahwa di dalam perjalanan bisnisku, ada saja wanita yang berhasil kurenggut seperti dalam BAB berikutnya.


Tadinya aku tak pernah memperhatikan cewek bernama Mona itu. Menurut pengakuannya, ia sudah berumur 32 tahun. Tapi mungkin sebenarnya lebih dari itu, karena perempuan banyak yang suka menyembunyikan usia yang sebenarnya. Terlebih status Mona itu belum pernah menikah. Soal masih perawan atau tidaknya, entahlah.
Mona memang bukan sosok yang menarik. Bentuk tubuh dan wajahnya biasa-biasa saja. Sikapnya pun terlalu pendiam dan serius, sehingga di dalam link bisnisku tak pernah ada yang berusaha mendekatinya lebih daripada teman bisnis.
Maka ketika aku menerima telepon darinya pada suatu hari, aku yakin ada masalah penting yang akan disampaikan:
"Mas…pabrik yang bangkrut itu memang mau dijual. Lumayan besinya lebih dari seribu ton. Apa mau diolah?" tanya Mona di telepon.
"Beneran lebih dari seribu ton?" aku balik bertanya dengan nada kurang percaya.
"Bener Mas. Tapi supaya gak sangsi mending timbang bayar aja, sesuai dengan barang yang kita dapatkan."
"Kita survey aja dulu. Lokasinya kan jauh juga dari sini ya?"
"Yaaa….kurang lebih seratuslimapuluh kilometer Mas. Kalau mau disurvey harus secepatnya. Takut keburu tercium sama bandar-bandar besi. Mas kan sudah punya buyer ya?"
"Iya. Kapan kita survey?"
"Lebih cepat lebih baik. Sebaiknya sekarang juga kita ke sana Mas."
"Mbak Mona mau ikut di mobil saya kan?"
"Ya iyalah. Saya kan cuma punya motor Mas. Masa ke sana pakai motor."
"Oke deh. Mau dijemput dimana?"
"Di depan SMA dua-dua aja. Mas kan belum tau rumah kost saya, masuk ke dalam gang, bisa nyasar nanti."
"Oke. Sejam lagi saya jemput di depan SMA itu."
"Baik Mas. Thank you."
Aku bergegas ke depan garasi. Herman, sopirku sedang mengelap kaaca mobilku dengan kanebo. "Her…kita ke luar kota sekarang," kataku
"Siap Pak !" sahut sopirku.
Aku bergegas ke kamar mandi, lalu cepat-cepat mandi.
Waktu keluar dari kamar mandi, kulihat istriku sedang nonton televisi sambil rebahan di sofa panjang kamar tidurku. "Aku mau ke luar kota, sayang," kataku sambil mengecup kening istriku.
"Ke luar kota ke mana?" tanya istriku.
Kusebutkan nama kota itu. Lalu kataku, "Doakan aku sukses ya. Kalau sukses, untungnya bisa beli mobil baru yang jauh lebih keren."
"Iya, pasti aku doakan Bang. Mau nginep di sana?"
"Lihat-lihat situasinya nanti. Kalau deal, pasti aku nginep. Nunggu sampai big Boss datang."
"Kalau nginep berarti sukses ya Bang?"
"Kira-kira begitulah."
"Bawa pakaian buat ganti di sana dong."
"Iya, tolong masukin dua setel aja ke tasku, sayang."

Tak lama kemudian aku sudah duduk di jok belakang mobilku yang dikemudikan oleh Herman dan sudah jauh meninggalkan rumahku.
"Yang mau dijemput siapa Pak?" tanya Herman ketika lampu merah menghentikan mobilku.
"Mbak Mona. Kamu sudah tau dia kan?"
"O, yang perawan tua itu Pak?"
"Hush ! Jangan pakai julukan perawan tua lah. Nanti kalau kedengaran orangnya gak enak."
Herman terdiam. Dia memang kubebaskan bergaul dengan teman-temanku. Bahkan sesekali dia suka ikutan menawar-nawarkan barang kepada teman-temanku. Jadi tak aneh kalau dia tahu banyak mengenai orang-orang yang kukenal.
"Tapi Mbak Mona itu beneran masih perawan atau statusnya aja yang masih gadis, Pak?" tanya Herman lagi.
"Wah, mana kutahu perawan gaknya sih," sahutku dingin.
"Test aja Pak. Cewek nganggur gitu, pasti ada hasrat pengen dilibas sama lelaki. Hahahaa…"
"Gila kamu Her ! Kamu aja yang libas dia gih."
"Wah, sama saya mana mau Pak? Saya kan cuma sopir. Ohya Pak…kalau jam segini baru berangkat, bisa malam tibanya di lokasi nanti. Emang mau langsung pulang lagi?"
"Kita lihat-lihat aja nanti. Di kota yang terdekat dengan lokasi kan pasti ada hotel. Kalau perlu nginap, ya nginap aja di hotel."
Tak lama kemudian kami tiba di depan SMA yang dijanjikan. Gadis bernama Mona itu tampak sudah berdiri di trotoar, mengenakan celana panjang berwarna coklat tua, dengan kaus kuning muda, sambil menjinjing sebuah tas.
Herman turun dan membukakan pintu belakang kiri. Mona masuk ke dalam dan duduk di sisiku.
"Bawa pakaian ganti?" tanyaku.
"Cuma bawa buat tidur, Mas. Soalnya ada kemungkinan harus nginap nanti ya?"
"Iya. Gak apa-apa kalau harus nginap kan?" tanyaku.
"Gak apa-apa. Saya sudah minta izin sama ibu kost tadi."
Tak lama kemudian Herman sudah meluncurkan lagi mobilku. Perjalanan yang kami tempuh cukup lama. Jam sembilan malam kami baru tiba di kota terdekat dengan lokasi pabrik yang mau disurvey itu.
"Bagaimana nih? Kayaknya kita harus istirahat dulu, besok pagi saja kita surveynya ya?" kataku sambil menepuk lutut Mona yang bercelana panjang corduroy coklat tua itu.
"Iya, bagaimana baiknya saja Mas," sahut Mona sambil merapikan rambutnya.
"Cari hotel aja Her," perintahku pada sopirku.
"Siap Pak. Tapi…setahu saya di kota ini hanya ada satu hotel."
"Ya…yang penting bisa dipakai istirahat aja, jangan sampai harus tidur di mobil."
Herman membelokkan mobil ke jalan yang tidak kukenal. Dan akhirnya berhenti di pekarangan sebuah hotel kecil, tapi pekarangannya cukup luas.
"Ini satu-satunya hotel di kota ini Pak," kata Herman sambil mematikan mesin mobil.
"Iya," sahutku sambil membuka pintu mobil di samping kananku, "yang penting bisa istirahat aja."
Aku langsung menuju ruang resepsionis. Menanyakan apakah masih ada kamar kosong. Dan jawabannya membuatku kecewa, "Kamar tinggal satu Pak," kata resepsionis, "Tapi lumayan besar kamarnya, dengan dua tempat tidur luas."
Aku tercenung sesaat. Balik lagi ke mobilku yang diparkir di pekarangan hotel kecil ini. "Kamarnya tinggal satu dengan dua tempat tidur," kataku pada Mona.
"Saya sih gak usah dipikirin Pak," Herman nyeletuk, "saya tidur di mobil aja."
"Gimana?" tanyaku sambil memandang Mona lagi.
"Gimana baiknya aja Mas," sahut gadis 32 tahunan itu.
"Ya udah kalau gitu, kita sekamar kan gak apa-apa ya?"
Mona mengangguk perlahan. Lalu kusuruh Herman mengeluarkan tasku dari bagasi.
Kamar itu bernomor 29. Kulihat hotel ini hanya memiliki 40 kamar. Tapi di dalamnya lumayan bagus. Pakai AC dan shower air panas. Itu sudah cukup bagiku.
Mona pun masuk ke dalam kamar. Meletakkan tasnya dan mengamati keadaan di sekeliling kamar itu. Herman sudah keluar lagi.
"Kasian juga sopirnya Mas. Dia akan tidur di mobil ya?" kata Mona sambil membuka tasnya.
"Emang udah biasa dia tidur di mobil, tapi sebentar….mau ngasih duit rokok dulu, Mbak."
"Ah, panggil Mona aja Mas. Gak usah pake mbak-mbakan," kata Mona sambil mengeluarkan pakaian dari dalam tasnya.
"Oke," kataku sambil tersenyum. Lalu keluar dari kamar dan menghampiri Herman. Ternyata dia sedang nonton tv di lobby. Kuberikan uang alakadarnya sambil berkata, "Nih buat makan dan rokok."
"Makasih Pak," Herman tampak girang mendapatkan uang jajan itu, "Pak…kesempatan tuh…"
"Kesempatan apa?" tanyaku dengan kernyitan.
Setengah berbisik Herman menyahut, "Mbak Mona itu…libas aja Pak. Mumpung ada kesempatan."
"Gila kamu ah ! Macem-macem aja," kataku sambil mengacungkan kepalan tangan ke depan wajah sopirku.
Herman memang sering lancang dan lupa tatakrama. Dia juga sok akrab kalau berhadapan dengan teman-temanku, sehingga ia lupa bahwa ia cuma seorang sopir. Tapi yang kusukai dari pribadinya, dia tak pernah mengeluh capek, meski harus nyetir 24 jam tanpa istirahat.
Aku masuk lagi ke dalam kamar 29. Kulihat Mona sudah mengenakan kimono sutra berwarna biru langit dengan corak berwarna biru tua. Dia memang tidak cantik. Tapi setelah kuperhatikan, kulitnya putih bersih.
"Gak nyangka kita bakal tidur sekamar ya," kataku sambil menatapnya dengan sikap menggoda.
"Iya, tapi bednya kan misah."
"Kalau saya ngelindur, lalu pindah ke bed Mona nanti gimana?"
"Mmm…gimana ya? Kalau sekadar tidur sih gakpapa juga, Mas," sahutnya dengan senyum.
"Sini dong ngobrolnya," kataku sambil menepuk kasur di kiriku, "Mumpung lagi santai, kita bisa ngobrol banyak."
 "Ngobrol apa Mas?" Mona menghampiriku dan duduk di sebelah kiriku, di pinggiran tempat tidur.
"Mona udah punya pengalaman dengan lelaki?" tanyaku sambil memegang pergelangan tangannya.
"Maksud Mas?" Mona menatapku dengan sorot bingung.
"Soal seks….udah ada pengalaman?"
Mona menggeleng dengan sorot sedih, "Soal itu sih saya masih nol besar Mas."
"Masa sih?"
"Berani sumpah….saya belum pernah."
"Zaman sekarang kan anak SMA juga udah banyak yang pernah mengalaminya."
"Tapi saya tidak seperti mereka Mas. Lagian siapa yang mau kepada saya yang jelek gini."
"Siapa bilang jelek ? Mona manis kok. Mmmm…emang belum pernah pacaran?"
"Waktu masih kuliah pernah juga ada cowok mendekati saya. Tapi ya gitu deh…belok ke cewek yang jauh lebih cantik dari saya."
"Wah…padahal kulit Mona putih bersih gini…." kataku sambil mengelus lutut Mona yang muncul dari belahan kimononya.
Kutunggu reaksinya. Dia diam saja. Dan aku makin ingin tahu. Tanyaku, "Pernah membayangkan indahnya berhubungan seks?"
"Ya…suka juga Mas. Tapi saya kan perempuan. Gak bisa aktif seperti laki-laki."
Aku rayapkan tanganku ke pahanya. Terasa hangat. Tanyaku lagi, "Kalau diraba-raba gini bagaimana rasanya?"
"Mmm…degdegan, Mas."
"Kita bikin kisah indah di antara kita yok…." kataku sambil memeluk pinggangnya, lalu kudekatkan bibirku ke bibirnya.
Mona malah memejamkan matanya. Ini kuanggap bahwa ia siap mengikuti keinginanku, tapi masih malu mengatakannya secara lisan. Maka aku pun tak banyak basa-basi lagi. Kupagut bibirnya dengan hasrat biologisku yang mulai berdesir-desir.
Mona diam saja. Tidak bereaksi pada waktu bibirnya mulai kulumat. Waktu tanganku merayap ke dalam belahan kimononya pun, dia tidak bereaksi. Dan aku senang sekali ketika langsung menyentuh payudaranya yang berukuran sedang-sedang saja.
Mona mulai bereaksi. Ia memelukku erat-erat ketika tanganku mulai mempermainkan pentil payudaranya. Dan aku mulai tak sabaran lagi. Kulepaskan ikatan tali kimononya, lalu kudorong dadanya agar rebah terlentang. Ia benar-benar pasrah. Kubuka belahan kimononya, sehingga sepasang payudaranya mulai tampak di depan mataku. Ketika pandanganku menurun ke bawah, kusaksikan tubuh berkulit putih bersih. Tidak mengecewakan. Kenapa pula tubuh seindah ini tidak pernah menarik perhatian kaumku?
Aku semakin jauh melangkah. Kucelucupi pentil payudara Mona, sementara tanganku mulai merayapi pusar perutnya….menurun dan menyelinap ke lingkarat karet celana dalamnya. Wow, kusentuh gundukan rambut keriting yang lebat sekali. Mungkin ia tak pernah mencukur jembutnya.
Ketika jemariku mulai mengelus2 belahan vagina yang masih tertutup celana dalam itu, sementara mulutku makin ganas menjilati dan menyedot-nyedot pentil teteknya, tubuh Mona terasa semakin menghangat. Tangannya pun mulai meremas-remas bahuku, sementara napasnya tertahan-tahan.
Tapi aku mulai menurunkan kepalaku. Bibir dan lidahku mulai mencelucupi pusar perutnya. Mona hanya bisa mengeus-elus rambutku. Entah apa yang dirasakannya saat ini. Dan mulutku menurun terus, sementara kedua tanganku menurunkan celana dalam gadis berkulit putih bersih ini.
"Mas…." terdengar suara Mona seperti protes ketika celana dalamnya sudah kulemparkan ke dekat bantal.
"Kenapa?" tanyaku sambil menatapnya.
"Malu…" sahutnya.
"Gak usah malu-malu," sahutku sambil menanggalkan celana panjang dan celana dalamku, "Tuh lihat….aku juga gak malu kan?" kupegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng sekali ini. Kudekatkan ke tangannya. Tapi ia tak berani menyentuhnya. Lalu matanya tampak terpejam lagi.
"Mona mau kan merasakan enaknya bersetubuh?" tanyaku sambil memegang ergelangan tangannya.
"Emang Mas mau?" ia menatapku dengan sorot malu-malu.
"Mau banget," kataku, "tapi kalau Mona benar-benar masih perawan, semuanya harus dilakukan dengan sama-sama ikhlas."
"Saya memang masih perawan Mas. Silakan aja buktikan…"
"Mona rela kalau perawannya saya ambil?"
"Terserah Mas…soalnya jujur aja….saya juga ingin…." kata-katanya terputus begitu saja. Tapi aku sudah mengerti maksudnya. Dan menurutku, ucapannya itu sudah merupakan pengakuan yang luar biasa. Bahwa ia ingin merasakan digauli oleh lelaki.
Setelah melepaskan baju kaus, aku jadi telanjang bulat juga, seperti yang sudah terjadi pada Mona.
Ketika wajahku berada di depan kemaluannya yang berbulu lebat itu, terdengar suaranya, "Mas…mau ngapain? Saya malu dong punya saya dipelototin gitu."
"Sttt…diam aja ya….saya ingin membuktikan virginitasmu…hmmm…memang masih perawan, Mon," sahutku sambil mengangakan mulut vagina gadis itu. Memang kulihat hymennya masih utuh. Berarti kemaluan gadis ini belum pernah diapa-apain.
Ini sesuatu yang langka di zaman sekarang. Bahwa gadis berusia 32 tahun masih benar-benar perawan. 
Maka tanpa basa basi lagi, kuserudukkan mulutku ke vagina yang masih virgin itu. Kuciumi beberapa kali. Lalu kujilati labia mayoranya (bibir besar kemaluan wanita).
 "Duuuh…Mas…ini diapain? Iiih…Mas gak jijik? Iiiih….Mas…..oooh….Mas…."  Mona menggeliat-geliat dengan tangan mengepak-ngepak ke kasur. Terlebih lagi setelah aku memusatkan jilatan dan isapanku ke bagian clitorisnya. Semakin menggeliat-geliat mona dibuatnya. Bahkan lalu terdengar suara histerisnya, "Duuuh…Mas…ini enak sekali…tapi…oooh…Mas…..oooh…iya…geli tapi enak Mas…..oooh…hsssshhhh….."
Diam-diam kukeluarkan air liurku sebanyak mungkin, supaya liang kemaluan Mona jadi becek, karena untuk pertama kalinya akan ditembus oleh batang kemaluan lelaki….batang kemaluanku. Cukup lama aku melakukan cunnilingus (lelaki ngemut kemaluan wanita). Sehingga rintihan-rintihan histeris Mona makin menjadi-jadi. Apakah ia sempat mengalami orgasme waktu kemaluannya kujilati ini, entahlah. Sulit memastikannya, karena ia benar-benar pemula.
Setelah Mona kuanggap siap untuk melakukan persetubuhan yang sebenarnya, kurentangkan sepasang kakinya selebar-lebarnya, lalu aku naik ke atas perutnya, sambil berkata, "Sekarang mulai penetrasi ya…."
Lalu kutempelkan puncak penisku di mulut kemaluan Mona yang sudah basah kuyup oleh air liurku, "Yang pertama pasti agak sakit….tahan ya Mon…"
"Iya," sahutnya lirih, "tapi ajarin ya Mas….saya kan masih bodoh banget dalam soal ini…"
Aku mulai mendesakkan batang kemaluanku agak kuat…makin kuat…makin kuat…terasa sudah membenam sedikit….kudorong terus...terasa sempit sekali, padahal sudah kubikin basah tadi dengan air liurku…tapi dengan pengalamanku yang sudah cukup banyak, aku berhasil melakukannya….kuenjot sedikit demi sedikit, sambil berusaha agar penisku semakin jauh membenam di liang kemaluan Mona.
Aku pun merapatkan dadaku ke dada Mona. Memeluk lehernya sambil melumat bibirnya. sementara penisku makin lama makin lancar maju-mundur dalam jepitan liang kemaluan Mona yang masih sangat sempit ini.
“Memek perawan…bukan main enaknya….” kataku sambil menjilati leher Mona.
“Masa sih?”
“Beneran. Mona sendiri gimana? Enak kan?”
“Iya Mas…enak banget…duuuh….rasanya kayak gini ya….denyutnya sampai ke lutut-lutut…tapi…Mas…..Mas….seperti ada yang mau keluar……”
“Nikmati aja…mungkin itu pertanda mau orgasme….”
“Maaas….” Mona meremas-remas bahuku sambil memejamkan matanya. Liang kemaluannya terasa berdenyut-denyut…lalu terasa jadi banyak lendir hangat. Berarti dia sudah mengalami orgasme.
Mona baru sekali ini mengalami persetubuhan. Mungkin liang kemaluannya akan terasa sakit kalau aku berlama-lama menyetubuhinya. Maka aku pun mempercepat gerakan penisku, dengan tujuan ingin cepat-cepat ejakulasi, supaya Mona tak tersiksa dibuatnya.
Dan ketika aku merasa sudah mau ejakulasi, cepat kucabut penisku dari liang kemaluan Mona. Dan sambil memegang penisku yang kuarahkan ke atas perut Mona, kurasakan penisku mengejut-ngejut sambil memuncratkan air maniku….crooot….crrooot…croooot….crooot….
Meski merasa lemas, aku turun dari tempat tidur. Kuambil handuk putih yang disediakan hotel untuk menyeka air mani yang menggenangi perut Mona. Dan ketika melirik ke arah seprai., kulihat ada genangan darah di situ. Hmmm…darah perawan Mona.
“Mona benar-benar masih perawan…terimakasih ya….aku jadi sayang sama Mona….” kataku sambil menciumi pipinya.
Mona cuma tersenyum, lalu menyahut lirih, “Ntar kalau kepengen lagi gimana?”
“Gampang. Tinggal bbm aja….nanti namamu akan kureset jadi nama cowok.”
“Supaya istri Mas jangan curiga?”
“Iya. Kalau Mona kangen, bbmin aja aku…bunyi bbmnya…pak barang itu harus disurvey, kapan bapak bisa ke sana?”
“Lalu?”
“Setelah di luar rumah, aku akan nelepon dan janjian ketemu di hotel mana, gitu.”
“Iya Mas.”
“Paling juga dalam tiga hari lagi Mona bakal kepengen lagi.”
“Kenapa bisa dipastikan begitu?”
“Kan lukanya dalam tiga hari akan sembuh. Kalau luka mengering kan suka gatal. Nah…saat itulah Mona akan merasa pengen digesek….heheheee….”
 "Mas..." Mona mendekatkan bibirnya ke bibirku, "minta kiss dong...yang mesra..."
Aku terlongong sesaat. Kasihan juga Mona ini. Ia telah menyerahkan sesuatu yang paling berharga di dalam dirinya padaku. Dan aku tak boleh menyepelekan hal itu. Minimal aku harus memperlakukannya dengan penuh kasih sayang.
Maka dengan hangat kupeluk tubuhnya, dengan lembut kukecup bibirnya dan kulanjut dengan lumatan mesra dan hangat.
Tapi karena kami masih sama-sama telanjang, saling peluk begini membuat kemaluan kami bersentuhan terus. Penisku pun menegang lagi dibuatnya. Maka bisikku, "Mau lagi?"
Mona menatapku dengan sorot pasrah, "Terserah Mas..." sahutnya.
Maka kugumuli gadis yang barusan kuperawani itu dengan sepenuh gairahku. Mona pun mulai pandai membalas gumulanku, dengan melumat bibirku sambil memegang batang kemaluanku dan terkadang meremasnya pelan-pelan.
Ketika aku masih saling lumat dengan Mona, diam-diam kumasukkan lagi batang kemaluanku ke dalam liang surgawinya.
Tidak terlalu sulit membenamkan senjata pusakaku, karena liang vagina Mona masih berlendir. Tapi enaknya kemaluan yang baru saja kuperawani, memang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Masih sangat menjepit, sehinggga terasa sekali nikmatnya waktu aku mulai mengayun batang kemaluanku, maju-mundur dan maju mundur....
Mona pun tampak menikmatinya. Terlebih setelah aku mengenjotnya sambil mengulum dan menjilati pentil teteknya, mata Mona jadi merem melek dibuatnya.
"Mas...oooh...kok enak sekali Massss.....ooooh....."
Mendengar rintihan dan desahan erotis Mona, aku jadi makin bergairah mengenjot penisku. Sehingga Mona semakin merem melek, sementara kedua tangannya sering meremas-remas kain seprai, terkadang juga meremas-remas rambutku sambil menahan-nahan napasnya.
Beberapa saat kemudian kurasakan sekujur tubuh Mona menggeliat....mengejang....disusul dengan hembusan nafas panjangnya... .....aaaaaaahhhh....dan aku merasakan liang kewanitaannya berkedut-kedut. Disusul dengan membasahnya lubang yang tengah kunikmati ini....sehingga terasa menjadi hangat sekali...terasa tidak terlalu sempit lagi.....
Dan aku tahu apa yang sedang terjadi.......






Comments

Popular posts from this blog

Download Video Bokep Salam Pramuka Sange

bokep threesome indo baju biru dicekokin minuman sebelum dientot 2 teman cowok nya